Gagasan Dasar Tan Malaka

| Rabu, 18 Januari 2012 | |



Sebuah gagasan besar selalu lahir dari konsistensi teori dan praktek yang teruji (valid) dalam ranah kenyataan melalui peristiwa besar yang membuktikannya. Artinya, teori adalah pedoman untuk praktek dan pada perkembangannya praktek yang menjadi hakim atas gagasan tersebut. Mengutip sebuah ungkapan “Tanpa teori revolusoner tidak akan ada gerakan revolusioner”, maka hal yang penting pertama adalah merujuk sumber teori Tan Malaka yang memiliki gagasan komplit meliputi filsafat, ekonomi-politik, dan strategi-taktik revolusi Indonesia. Buku Madilog sangat terang menjabarkan sumber teori Tan Malaka yang tercerahkan pikiranya oleh Renaissance di dunia Barat sebagai bentuk revolusi kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Renaissance merupakan revolusi berpikir yang dilancarkan oleh klas borjuis yang sedang tumbuh di Eropa Barat dan secara langsung menyerang sendi-sendi berpikir yang menopang zaman feodalisme (abad tengah). Zaman kebudayaan feodalisme ditandai dengan berkuasanya cara berpikir yang bersumberkan pada takhayul dan dogma lapuk, yang anti ilmiah dan anti demokrasi. Renaissance sebagai gerakan kebudayaan yang massif di Eropa Barat kemudian berpuncak pada Revolusi Prancis 1879, suatu revolusi borjuis yang melancarkan serangan mematikan terhadap kekuasaan feodalisme di tiga aspek sekaligus; politik, ekonomi dan kebudayaan.

Anak emas dari tradisi Renaissance adalah Marxisme, suatu teori yang dirumuskan dan dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederick Engels ketika kapitalisme sedang tumbuh di Eropa. Rumusan filsafat Marxisme adalah Materialisme Dialektika dan Historis. Materialisme sebagai cara berpikir dalam memandang asal-usul segala sesuatu dan dialektika sebagai metode berpikir dalam menganalisis hukum perkembangan segala sesuatu. Berikutnya materialisme historis adalah penerapan materialisme dialektika dalam hukum sejarah perkembangan masyarakat secara obyektif yang digerakkan oleh kekuatan produktif. Materialisme Dialektika dirujuk oleh Tan Malaka sebagai filsafatnya di dalam karya Madilog dengan menanggalkan aspek materialisme historisnya dan digantikan dengan penjelasan soal logika. Logika merupakan metode berpikir yang bertumpu pada prinsip identitas dan berbeda dengan dialektika yang bertumpu pada sifat kontradiksi di dalam setiap unsur materi. Maka jadilah MADILOG atau materialisme dialektika dan logika.

MADILOG sebagai sebuah karya intelektual sungguh besar jasanya karena memberikan dasar-dasar berpikir yang benar dalam menganalisis segala hal ihwal yang konkret dan sangat dibutuhkan untuk memajukan cara berpikir rakyat Indonesia yang mayoritas masih terbelenggu dalam paham mistik dan takhayul. Namun kelemahan utama MADILOG adalah ketika ia tidak memberikan pemahaman yang utuh tentang filsafat Marxisme yang sebenarnya, yakni materialisme dialektika dan historis sebagai senjata berpikir bagi klas buruh dan rakyat dalam membebaskan klas dan umat manusia dari penindasan klas atas klas. Kelemahan ini membawa dampak yang serius karena menyangkut bagaimana senjata filsafat ini diterapkan dalam kenyataan konkret Rakyat Indonesia dan Revolusi Indonesia.

Sementara pada aspek praktek, Tan Malaka juga tidak bisa memisahkan diri dari kemenangan praktek revolusi sosialis di Rusia pada tahun 1917. Klas buruh melalui partainya (kaum Bolshevik yang kemudian mengubah nama menjadi PKUS) di bawah pimpinan Lenin berhasil menumbangkan rezim Tsar dan kekuasaan borjuis kemudian menegakkan Negeri Sosialis di Rusia. Buku Tan Malaka berjudul “Parlemen atau Soviet?”, “Massa Aksi”, “Thesis”, menjelaskan pendiriannya yang terang tentang strategi revolusi yang menolak menjadikan parlemen sebagai cara berjuang yang pokok dalam meraih sosialisme dan mewujudkan komunisme. Sebaliknya, ia menyadari peranan utama massa (proletar dan rakyat) sebagai pengubah dan pencipta sejarah yang baru melalui jalan revolusioner. Dalam praktek memimpin perjuangan rakyat membebaskan diri dari belenggu kolonialisme, dalam prakteknya tak bisa lepas dari peranan Partai yang bertugas untuk menyatukan dan memimpin revolusinya rakyat menuju hari depannya. Dalam hal kepartaian, Tan Malaka sejak berpisah dengan PKI akibat konflik dalam hal memandang Pemberontakan Tani 1926 juga menunjukkan pengalamannya yang gagal dalam membangun Partai. Setelah berpisah dengan PKI, Tan Malaka tercatat pernah membangun Partai Republik Indonesia (PARI) pada tahun 1927 hanya dengan 3 orang di suatu kuil di Thailand dan pada perkembangannya tidak memiliki peranan yang besar sejak partai ini digagas dan kepemimpinannya. Setelah pudar membangun PARI, Tan Malaka juga membangun inisiatif baru melalui Persatuan Perjuangan pada tahun 1946 untuk mengambil alih Republik yang masih muda dari kekuasaan sekutu. Persatuan Perjuangan adalah front persatuan luas yang berhasil menyatukan kurang lebih 141 organisasi yang mengusung platform “Indonesia Merdeka 100%”. Tidak kurang Jenderal Soedirman turut menyokong gagasan dan gerakan yang memiliki sikap tegas terhadap kolonialisme ini. Gagasan Tan Malaka ini mampu menarik banyak kekuatan rakyat pada waktu itu karena memiliki program yang terang untuk menggapai Indonesia Merdeka, suatu garis demarkasi yang tegas berbeda dengan Sutan Syahrir, Moh. Hatta maupun Soekarno sendiri.

Menurut Tan Malaka, untuk menjalankan perundingan dengan pihak musuh maka harus menerima syarat pokok diakuinya secara de facto Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh pemerintah imperialis Belanda. Tidak hanya itu, seluruh tentara kolonial juga harus meninggalkan pantai Indonesia. Hanya dengan keadaan yang merdeka penuh maka bangsa Indonesia memiliki kemandirian dan kedudukan yang setara dengan pihak pemerintah imperialis Belanda. Perundingan/perjanjian dalam sudut pandang Tan Malaka adalah bukan diplomasi untuk mengemis pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia terhadap musuh yang pada hakekatnya adalah imperialis yang tidak rela melepaskan negeri jajahannya.

Namun karena tidak adanya partai pelopor yang kuat dan partai/organisasi yang tergabung di dalamnya belum teruji sebagai kekuatan yang berwatak anti-imperialisme maka dengan mudah bisa dilemahkan dan dicerai-beraikan oleh politik konsesi yang ditawarkan oleh pemerintah Sukarno-Hatta kepada berbagai partai dan organisasi yang bergabung dengan Persatuan Perjuangan. Ketiadaan partai pelopor yang kuat sebagai syarat utama di dalam front persatuan memaksa Tan Malaka membangun Partai Murba (1948) yang juga gagal berkembang sebagai partai pelopor yang kuat dalam menyatukan dan memimpin rakyat memenangkan revolusi yang sedang pasang pada waktu itu.

Pada babak akhir Tan Malaka berujung tragis. Di tengah usaha untuk melanjutkan gagasan kemerdekaan 100%, setelah gagalnya Persatuan Perjuangan, Tan Malaka menempuh perjuangan gerilya bersenjata di Kediri, Jawa Timur dengan sejumlah kecil pasukan yang ia maklumkan sebagai pusat kepemimpinan Murba bawah tanah. Ia terus melakukan oposisi terhadap Sukarno-Hatta yang ia nyatakan telah gagal dalam memimpin revolusi nasional pada saat rakyat Indonesia menghadapi invasi militer Belanda ke-2 1948. Tan Malaka tewas karena dieksekusi oleh salah satu faksi dari kekuatan bersenjata di dalam tubuh pemerintah RI sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar..cekidot...