Sebuah gagasan besar selalu lahir
dari konsistensi teori dan praktek yang teruji (valid) dalam ranah kenyataan
melalui peristiwa besar yang membuktikannya. Artinya, teori adalah pedoman
untuk praktek dan pada perkembangannya praktek yang menjadi hakim atas gagasan
tersebut. Mengutip sebuah ungkapan “Tanpa teori revolusoner tidak akan ada
gerakan revolusioner”, maka hal yang penting pertama adalah merujuk sumber
teori Tan Malaka yang memiliki gagasan komplit meliputi filsafat,
ekonomi-politik, dan strategi-taktik revolusi Indonesia. Buku Madilog sangat
terang menjabarkan sumber teori Tan Malaka yang tercerahkan pikiranya oleh Renaissance
di dunia Barat sebagai bentuk revolusi kebudayaan yang sangat berpengaruh
dalam sejarah umat manusia. Renaissance merupakan revolusi berpikir yang
dilancarkan oleh klas borjuis yang sedang tumbuh di Eropa Barat dan secara langsung
menyerang sendi-sendi berpikir yang menopang zaman feodalisme (abad tengah).
Zaman kebudayaan feodalisme ditandai dengan berkuasanya cara berpikir yang
bersumberkan pada takhayul dan dogma lapuk, yang anti ilmiah dan anti
demokrasi. Renaissance sebagai gerakan kebudayaan yang massif di Eropa
Barat kemudian berpuncak pada Revolusi Prancis 1879, suatu revolusi borjuis
yang melancarkan serangan mematikan terhadap kekuasaan feodalisme di tiga aspek
sekaligus; politik, ekonomi dan kebudayaan.
Anak
emas dari tradisi Renaissance adalah Marxisme, suatu teori yang
dirumuskan dan dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederick Engels ketika
kapitalisme sedang tumbuh di Eropa. Rumusan filsafat Marxisme adalah
Materialisme Dialektika dan Historis. Materialisme sebagai cara berpikir dalam
memandang asal-usul segala sesuatu dan dialektika sebagai metode berpikir dalam
menganalisis hukum perkembangan segala sesuatu. Berikutnya materialisme
historis adalah penerapan materialisme dialektika dalam hukum sejarah
perkembangan masyarakat secara obyektif yang digerakkan oleh kekuatan
produktif. Materialisme Dialektika dirujuk oleh Tan Malaka sebagai filsafatnya
di dalam karya Madilog dengan menanggalkan aspek materialisme historisnya dan
digantikan dengan penjelasan soal logika. Logika merupakan metode berpikir yang
bertumpu pada prinsip identitas dan berbeda dengan dialektika yang bertumpu
pada sifat kontradiksi di dalam setiap unsur materi. Maka jadilah MADILOG atau
materialisme dialektika dan logika.
MADILOG
sebagai sebuah karya intelektual sungguh besar jasanya karena memberikan
dasar-dasar berpikir yang benar dalam menganalisis segala hal ihwal yang
konkret dan sangat dibutuhkan untuk memajukan cara berpikir rakyat Indonesia
yang mayoritas masih terbelenggu dalam paham mistik dan takhayul. Namun
kelemahan utama MADILOG adalah ketika ia tidak memberikan pemahaman yang utuh
tentang filsafat Marxisme yang sebenarnya, yakni materialisme dialektika dan
historis sebagai senjata berpikir bagi klas buruh dan rakyat dalam membebaskan
klas dan umat manusia dari penindasan klas atas klas. Kelemahan ini membawa
dampak yang serius karena menyangkut bagaimana senjata filsafat ini diterapkan
dalam kenyataan konkret Rakyat Indonesia dan Revolusi Indonesia.
Sementara
pada aspek praktek, Tan Malaka juga tidak bisa memisahkan diri dari kemenangan
praktek revolusi sosialis di Rusia pada tahun 1917. Klas buruh melalui
partainya (kaum Bolshevik yang kemudian mengubah nama menjadi PKUS) di bawah
pimpinan Lenin berhasil menumbangkan rezim Tsar dan kekuasaan borjuis kemudian
menegakkan Negeri Sosialis di Rusia. Buku Tan Malaka berjudul “Parlemen atau
Soviet?”, “Massa Aksi”, “Thesis”, menjelaskan pendiriannya
yang terang tentang strategi revolusi yang menolak menjadikan parlemen sebagai
cara berjuang yang pokok dalam meraih sosialisme dan mewujudkan komunisme.
Sebaliknya, ia menyadari peranan utama massa (proletar dan rakyat) sebagai
pengubah dan pencipta sejarah yang baru melalui jalan revolusioner. Dalam
praktek memimpin perjuangan rakyat membebaskan diri dari belenggu kolonialisme,
dalam prakteknya tak bisa lepas dari peranan Partai yang bertugas untuk
menyatukan dan memimpin revolusinya rakyat menuju hari depannya. Dalam hal
kepartaian, Tan Malaka sejak berpisah dengan PKI akibat konflik dalam hal memandang
Pemberontakan Tani 1926 juga menunjukkan pengalamannya yang gagal dalam
membangun Partai. Setelah berpisah dengan PKI, Tan Malaka tercatat pernah
membangun Partai Republik Indonesia (PARI) pada tahun 1927 hanya dengan 3 orang
di suatu kuil di Thailand dan pada perkembangannya tidak memiliki peranan yang
besar sejak partai ini digagas dan kepemimpinannya. Setelah pudar membangun
PARI, Tan Malaka juga membangun inisiatif baru melalui Persatuan
Perjuangan pada tahun 1946 untuk mengambil alih Republik yang masih muda dari
kekuasaan sekutu. Persatuan Perjuangan adalah front persatuan luas yang
berhasil menyatukan kurang lebih 141 organisasi yang mengusung platform
“Indonesia Merdeka 100%”. Tidak kurang Jenderal Soedirman turut menyokong
gagasan dan gerakan yang memiliki sikap tegas terhadap kolonialisme ini.
Gagasan Tan Malaka ini mampu menarik banyak kekuatan rakyat pada waktu itu
karena memiliki program yang terang untuk menggapai Indonesia Merdeka, suatu
garis demarkasi yang tegas berbeda dengan Sutan Syahrir, Moh. Hatta maupun
Soekarno sendiri.
Menurut Tan Malaka,
untuk menjalankan perundingan dengan pihak musuh maka harus menerima syarat
pokok diakuinya secara de facto Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa yang
merdeka dan berdaulat oleh pemerintah imperialis Belanda. Tidak hanya itu,
seluruh tentara kolonial juga harus meninggalkan pantai Indonesia. Hanya dengan
keadaan yang merdeka penuh maka bangsa Indonesia memiliki kemandirian dan
kedudukan yang setara dengan pihak pemerintah imperialis Belanda.
Perundingan/perjanjian dalam sudut pandang Tan Malaka adalah bukan diplomasi
untuk mengemis pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia terhadap musuh yang
pada hakekatnya adalah imperialis yang tidak rela melepaskan negeri jajahannya.
Namun karena tidak
adanya partai pelopor yang kuat dan partai/organisasi yang tergabung di
dalamnya belum teruji sebagai kekuatan yang berwatak anti-imperialisme maka
dengan mudah bisa dilemahkan dan dicerai-beraikan oleh politik konsesi yang
ditawarkan oleh pemerintah Sukarno-Hatta kepada berbagai partai dan organisasi
yang bergabung dengan Persatuan Perjuangan. Ketiadaan partai pelopor yang kuat
sebagai syarat utama di dalam front persatuan memaksa Tan Malaka membangun
Partai Murba (1948) yang juga gagal berkembang sebagai partai pelopor yang kuat
dalam menyatukan dan memimpin rakyat memenangkan revolusi yang sedang pasang
pada waktu itu.
Pada babak akhir Tan
Malaka berujung tragis. Di tengah usaha untuk melanjutkan gagasan kemerdekaan
100%, setelah gagalnya Persatuan Perjuangan, Tan Malaka menempuh perjuangan
gerilya bersenjata di Kediri, Jawa Timur dengan sejumlah kecil pasukan yang ia
maklumkan sebagai pusat kepemimpinan Murba bawah tanah. Ia terus melakukan
oposisi terhadap Sukarno-Hatta yang ia nyatakan telah gagal dalam memimpin
revolusi nasional pada saat rakyat Indonesia menghadapi invasi militer Belanda
ke-2 1948. Tan Malaka tewas karena dieksekusi oleh salah satu faksi dari
kekuatan bersenjata di dalam tubuh pemerintah RI sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar..cekidot...