Sahabat saya, Yuddy Chrisnandi, menulis artikel membuncah dengan judul "Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda" (Koran Tempo, 16 November 2007). Saya terperangah dengan serangan Yuddy: "... kaum muda... ditengarai mengalami krisis nasionalisme. Terjadi pergeseran orientasi nilai kaum muda. Kaum muda sudah kurang menghayati nilai-nilai kepahlawanan." Ukuran yang dipakai adalah peringatan 10 November. Begitu pula perulangan pesan tentang kedaulatan harkat dan martabat bangsa Indonesia ketika berhadapan dengan bangsa lain.
Bagi saya, nasionalisme seperti itu sudah gosong. Ia hangus oleh ulah kaum tua sendiri yang di satu sisi bicara tentang nasionalisme, tapi di sisi lain melakukan korupsi dan menindas hak-hak asasi manusia Indonesia. Nasionalisme sudah kehilangan harkat dan martabat, ketika hutan-hutan hancur, pedagang kaki lima digebuki, lalu anak-anak miskin penuh luka berjejal-jejal di jalanan memunguti sampah. Sejak awal 1970-an, nasionalisme menjadi ada dan tiada ketika semakin banyak penguasaan kaum kapitalis atas hajat hidup orang banyak di Indonesia.
Berharap kaum muda untuk mengingat Hari Pahlawan, sama saja dengan bermimpi bahwa anak-anak muda kini mampu menggerakkan revolusi. Tidak ada pahlawan tanpa revolusi. Yang sekarang menonjol adalah jalan pintas untuk mendapatkan apa pun, kalau perlu dengan menundukkan diri dan nyali, sembari memanjangkan ujung lidah. Berfoya-foya dengan kekuasaan menjadi pemandangan paling telanjang atas situasi hari ini. Dan itu dilakukan oleh para tetua dan kolaboratornya di kalangan anak-anak muda juga. Hidup jelas tidak harus dijalani dengan cara susah payah.
Maka, hanya menunjuk anak-anak muda sebagai sumber kekisruhan krisis nasionalisme, sama saja dengan mengatakan ada buah tanpa pohon. Buah yang busuk justru berasal dari pohon yang berulat. Terkikisnya nasionalisme kaum muda adalah limbah dari keringnya nasionalisme kalangan tua. Pragmatisme dan oportunisme kaum tua justru menjadi belatung yang merusak sendi-sendi idealisme kaum muda. Dalam zaman yang serba uang ini, anak-anak muda hanya hadir sebagai akibat, tapi bukan penyebab.
Dalam diskusi yang digelar oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia, di hadapan 37 uskup, saya ditanya soal bagaimana anak-anak muda sekarang. Saya menjawab, "Kami masih sanggup memperbaiki negeri ini." Yang saya sampaikan adalah perubahan satu generasi, bukan menempel-nempelkan anak-anak usia muda dalam generasi yang sudah rusak. Untuk memperbaiki negeri ini, dibutuhkan waktu 20 tahun lagi. Kalau diukur dari 1998, perubahan baru akan datang pada 2018.
Bagaimana melakukan perubahan itu? Tentu dengan menyebarkan sebanyak mungkin anak muda di pelbagai sektor, baik politik, ekonomi, birokrasi, dunia usaha, tentara, polisi, maupun jaksa. Anak-anak muda seperti itulah yang telah mengubah Jerman, 20 tahun setelah gerakan mahasiswa 1968 (dikenal sebagai 68er-Bewegung). Jerman tidak langsung berubah sepuluh tahun setelah itu, tapi perlahan membaik kemudian. Sistem politik dan pemerintah yang telanjur dikangkangi oleh kepentingan rezim otoriter hanya bisa dihegemoni setelah semakin banyak orang masuk ke dalamnya.
Sekarang, bagaimana Anda bisa melakukan perubahan kalau satu orang direktorat jenderal di satu departemen begitu alergi dengan anak-anak muda? Begitu juga dengan internal masing-masing partai politik, ketika lebih banyak orang tua yang menempatkan keluarganya menjadi bagian dari pelanjut tradisi keluarga atas nama jasa pendirian partai politik itu. Akibatnya, anak-anak mudalah yang ingin berkiprah mendapatkan diri sebagai kelompok yang miskin papa, kalau tidak diberikan imbalan atau perlindungan dari keluarga-keluarga yang menguasai partai politik itu.
Maka sebuah manifesto juga tidaklah cukup, kalau tidak disertai dengan inventarisasi nama-nama anak muda yang nanti menggerakkan manifesto itu. Dan anak-anak muda seperti itu jelas tidak ada di Jakarta, satu pun, dari kelompok mana pun, entah merasa independen entah dependen dengan kelompok lain. Anak-anak muda yang menggerakkan manifesto itu barangkali bertempat tinggal di daerah-daerah terpencil, atau sedang menekuni pekerjaan sebagai pencuci piring di warung-warung makan di sebuah kota kecil negara lain, atau menjadi kelasi sebuah kapal angkutan barang.
Nasionalisme abad ini tidak bisa ditarik mundur ke bentangan abad lalu. Nasionalisme juga bukan lagi produk zaman ini. Ia hanya mewakili kepurbaan. Makna kepahlawanan juga makin digugat ketika cacat historis kian tersingkap, sebagaimana tuduhan atas Tuanku Imam Bonjol. Tantangan-tantangan keindonesiaan tidak terletak pada masa lalu, tapi menghunjam dari masa depan, dengan kecepatan kinetik.
Tapi tantangan itu selalu datang dari satu sumber, yakni ilmu pengetahuan, dengan teknologi sebagai variasi. Maka, ketika anak-anak muda lebih banyak berbicara tentang kekuasaan ketimbang mendiskusikan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses destruksi dari idealisme anak-anak muda sendiri. Sebab, bicara tentang kekuasaan hari ini tidak berbeda jauh dengan kontes menyanyi dan menari, yakni bergantung pada perolehan SMS yang Anda terima. Kekuasaan hari ini adalah kekuasaan yang menjauh dari ilmu pengetahuan sehingga menjadi sangat anti-intelektual.
Dengan ilmu pengetahuan, nasionalisme jelas akan terkapar jatuh. Doktrin sejarah Indonesia yang mengatakan bahwa pembebasan atas kolonialisme datang dari nasionalisme adalah omong kosong. Tidak ada itu bambu runcing bisa menang menghadapi meriam. Perlawanan atas nasionalisme pertama dan utama sekali datang dari penguasaan atas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuanlah yang meruntuhkan kolonialisme, sebagaimana juga meruntuhkan kehendak hegemonis Orde Baru.
Kaum inteligensia tentu mendapatkan tempat, baik didikan Barat maupun bukan. Dari sini sebetulnya diskusi tentang nasionalisme baru dan Indonesia baru harus dimulai, yakni seberapa rakus bangsa ini terhadap ilmu pengetahuan, bukan seberapa megah sebuah gedung harus dibangun. Lagi-lagi persoalan menjadi klasik: seberapa besar sebuah perpustakaan dibuat di daerah-daerah ketimbang tempat hiburan, sarana belanja, atau gedung parlemennya. Kekuasaan yang terkejam sekalipun akan mudah dihadapi apabila semua warga negara memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan memadai. Ketakutan terbesar saya bukanlah kepada anak-anak muda yang miskin harta, tapi lebih kepada anak-anak muda yang papa ilmu pengetahuan. Saya kira Yuddy juga setuju.
Redaksi : Seniman Kehidupan
Indra J. Piliang
ANALIS POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL CENTER FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES, JAKARTA
Bagi saya, nasionalisme seperti itu sudah gosong. Ia hangus oleh ulah kaum tua sendiri yang di satu sisi bicara tentang nasionalisme, tapi di sisi lain melakukan korupsi dan menindas hak-hak asasi manusia Indonesia. Nasionalisme sudah kehilangan harkat dan martabat, ketika hutan-hutan hancur, pedagang kaki lima digebuki, lalu anak-anak miskin penuh luka berjejal-jejal di jalanan memunguti sampah. Sejak awal 1970-an, nasionalisme menjadi ada dan tiada ketika semakin banyak penguasaan kaum kapitalis atas hajat hidup orang banyak di Indonesia.
Berharap kaum muda untuk mengingat Hari Pahlawan, sama saja dengan bermimpi bahwa anak-anak muda kini mampu menggerakkan revolusi. Tidak ada pahlawan tanpa revolusi. Yang sekarang menonjol adalah jalan pintas untuk mendapatkan apa pun, kalau perlu dengan menundukkan diri dan nyali, sembari memanjangkan ujung lidah. Berfoya-foya dengan kekuasaan menjadi pemandangan paling telanjang atas situasi hari ini. Dan itu dilakukan oleh para tetua dan kolaboratornya di kalangan anak-anak muda juga. Hidup jelas tidak harus dijalani dengan cara susah payah.
Maka, hanya menunjuk anak-anak muda sebagai sumber kekisruhan krisis nasionalisme, sama saja dengan mengatakan ada buah tanpa pohon. Buah yang busuk justru berasal dari pohon yang berulat. Terkikisnya nasionalisme kaum muda adalah limbah dari keringnya nasionalisme kalangan tua. Pragmatisme dan oportunisme kaum tua justru menjadi belatung yang merusak sendi-sendi idealisme kaum muda. Dalam zaman yang serba uang ini, anak-anak muda hanya hadir sebagai akibat, tapi bukan penyebab.
Dalam diskusi yang digelar oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia, di hadapan 37 uskup, saya ditanya soal bagaimana anak-anak muda sekarang. Saya menjawab, "Kami masih sanggup memperbaiki negeri ini." Yang saya sampaikan adalah perubahan satu generasi, bukan menempel-nempelkan anak-anak usia muda dalam generasi yang sudah rusak. Untuk memperbaiki negeri ini, dibutuhkan waktu 20 tahun lagi. Kalau diukur dari 1998, perubahan baru akan datang pada 2018.
Bagaimana melakukan perubahan itu? Tentu dengan menyebarkan sebanyak mungkin anak muda di pelbagai sektor, baik politik, ekonomi, birokrasi, dunia usaha, tentara, polisi, maupun jaksa. Anak-anak muda seperti itulah yang telah mengubah Jerman, 20 tahun setelah gerakan mahasiswa 1968 (dikenal sebagai 68er-Bewegung). Jerman tidak langsung berubah sepuluh tahun setelah itu, tapi perlahan membaik kemudian. Sistem politik dan pemerintah yang telanjur dikangkangi oleh kepentingan rezim otoriter hanya bisa dihegemoni setelah semakin banyak orang masuk ke dalamnya.
Sekarang, bagaimana Anda bisa melakukan perubahan kalau satu orang direktorat jenderal di satu departemen begitu alergi dengan anak-anak muda? Begitu juga dengan internal masing-masing partai politik, ketika lebih banyak orang tua yang menempatkan keluarganya menjadi bagian dari pelanjut tradisi keluarga atas nama jasa pendirian partai politik itu. Akibatnya, anak-anak mudalah yang ingin berkiprah mendapatkan diri sebagai kelompok yang miskin papa, kalau tidak diberikan imbalan atau perlindungan dari keluarga-keluarga yang menguasai partai politik itu.
Maka sebuah manifesto juga tidaklah cukup, kalau tidak disertai dengan inventarisasi nama-nama anak muda yang nanti menggerakkan manifesto itu. Dan anak-anak muda seperti itu jelas tidak ada di Jakarta, satu pun, dari kelompok mana pun, entah merasa independen entah dependen dengan kelompok lain. Anak-anak muda yang menggerakkan manifesto itu barangkali bertempat tinggal di daerah-daerah terpencil, atau sedang menekuni pekerjaan sebagai pencuci piring di warung-warung makan di sebuah kota kecil negara lain, atau menjadi kelasi sebuah kapal angkutan barang.
Nasionalisme abad ini tidak bisa ditarik mundur ke bentangan abad lalu. Nasionalisme juga bukan lagi produk zaman ini. Ia hanya mewakili kepurbaan. Makna kepahlawanan juga makin digugat ketika cacat historis kian tersingkap, sebagaimana tuduhan atas Tuanku Imam Bonjol. Tantangan-tantangan keindonesiaan tidak terletak pada masa lalu, tapi menghunjam dari masa depan, dengan kecepatan kinetik.
Tapi tantangan itu selalu datang dari satu sumber, yakni ilmu pengetahuan, dengan teknologi sebagai variasi. Maka, ketika anak-anak muda lebih banyak berbicara tentang kekuasaan ketimbang mendiskusikan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses destruksi dari idealisme anak-anak muda sendiri. Sebab, bicara tentang kekuasaan hari ini tidak berbeda jauh dengan kontes menyanyi dan menari, yakni bergantung pada perolehan SMS yang Anda terima. Kekuasaan hari ini adalah kekuasaan yang menjauh dari ilmu pengetahuan sehingga menjadi sangat anti-intelektual.
Dengan ilmu pengetahuan, nasionalisme jelas akan terkapar jatuh. Doktrin sejarah Indonesia yang mengatakan bahwa pembebasan atas kolonialisme datang dari nasionalisme adalah omong kosong. Tidak ada itu bambu runcing bisa menang menghadapi meriam. Perlawanan atas nasionalisme pertama dan utama sekali datang dari penguasaan atas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuanlah yang meruntuhkan kolonialisme, sebagaimana juga meruntuhkan kehendak hegemonis Orde Baru.
Kaum inteligensia tentu mendapatkan tempat, baik didikan Barat maupun bukan. Dari sini sebetulnya diskusi tentang nasionalisme baru dan Indonesia baru harus dimulai, yakni seberapa rakus bangsa ini terhadap ilmu pengetahuan, bukan seberapa megah sebuah gedung harus dibangun. Lagi-lagi persoalan menjadi klasik: seberapa besar sebuah perpustakaan dibuat di daerah-daerah ketimbang tempat hiburan, sarana belanja, atau gedung parlemennya. Kekuasaan yang terkejam sekalipun akan mudah dihadapi apabila semua warga negara memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan memadai. Ketakutan terbesar saya bukanlah kepada anak-anak muda yang miskin harta, tapi lebih kepada anak-anak muda yang papa ilmu pengetahuan. Saya kira Yuddy juga setuju.
Redaksi : Seniman Kehidupan
Indra J. Piliang
ANALIS POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL CENTER FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES, JAKARTA
Kutipan dari : http://www.tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar..cekidot...