Kisah Wiji Thukul

| Rabu, 13 Oktober 2010 | |

“penjara sekalipun tak bakal mampu mendidikku jadi patuh”

Redaksi : Seniman Kehidupan
Wiji Thukul Wijaya lahir di Sala 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak dari keluarga Katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada 1980.
Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan.
Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”

Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.
Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex. Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai "orang hilang", korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.
Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM.
PERINGATAN                                                                                    Wiji Thukul Wijaya

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Solo, 1986
           
            Inilah kisah dari mereka yang menjadi korban kekejaman orde baru. Rezim yang keji  dan sampai saat ini masih gelap. Masih tertutup kabut kekuasaan yang masih berjalan, sampai saat ini Negara kita masih dibutakana kekuasaan dan uang yang menutupi semua keadilan. Sungguh ironi.
Redaksi : Seniman Kehidupan

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar..cekidot...